Depok, 6 Februari 2025. Universitas Indonesia (UI) mengukuhkan Prof. Dr. dr. Murti Andriastuti, Sp.A(K)., selaku guru besar dalam Bidang Hematologi Onkologi, Fakultas Kedokteran (FK), pada Rabu (5/2) di Aula IMERI FKUI, Kampus UI Salemba. Pada legalisasi yang dipimpin oleh Rektor UI Prof. Dr. Ir. Heri Hermansyah, S.T., M.Eng., IPU., Prof. Murti memberikan pidato pengukuhannya yang berjudul “‘Closing the gap’ Angka Kesintasan Kanker Anak di Indonesia dengan Negara Maju: Perlunya Terobosan Strategi Penanganan Kanker Anak dari Hulu ke Hilir” dan menjadi Guru Besar ke-13 UI yang dikukuhkan pada tahun 2025.
Dalam pidatonya Prof. Murti mengatakan, kanker pada anak ialah dilema kesehatan yang sungguh mempunyai pengaruh terhadap tumbuh kembang anak. Bahkan, hal ini juga turut memengaruhi aspek ekonomi dan psikososial orangtua maupun keluarga. Secara global, diperkirakan terdapat lebih dari 413.000 kasus kanker anak di tahun 2020, 80% di antaranya tinggal di negara berpendapatan rendah dan menengah (low and middle income countries/LMICs), sebanyak 44% terdiagnosis pada stadium lanjut dan hanya 20% yang bertahan hidup.
Lebih lanjut dia menyampaikan, kesuksesan penanganan kanker pada anak tercermin dari persentase angka kesintasan. Rerata angka kesintasan global di negara maju dapat mencapai 80%, sedangkan angka kesintasan kanker pada anak di Indonesia sungguh bervariasi dari 24% – 49,5%. “Kesenjangan angka kesintasan yang terjadi antara negara berkembang dan negara maju dipengaruhi oleh banyak aspek, salah satunya yaitu keterlambatan diagnosis. Deteksi dini dengan mengetahui gejala permulaan penyakit menjadi sangat penting dan ialah taktik utama penanganan kanker pada anak,” ujar Prof. Murti.
Ia menyertakan, pengobatan akan lebih optimal dengan prognosis yang baik kalau pasien masih dalam stadium permulaan. Sayangnya, hal ini tidak mudah alasannya gejala awal kanker pada anak tidak spesifik dan mampu menyerupai tanda-tanda penyakit lain sehingga sebagian besar pasien dirujuk dalam stadium lanjut dengan prognosis yang buruk.
Prof. Murti menerangkan, terdapat terdapat tiga aspek utama yang memengaruhi keterlambatan diagnosis. Pertama, aspek pasien yang mencakup tingkat sosial, ekonomi, kecenderungan untuk denial/penyangkalan, dan preferensi keluarga kepada pengobatan alternatif. Kedua, aspek jenis kanker, misalnya tumor padat di lokasi yang terlihat akan lebih mudah dimengerti, sedangkan tumor otak dengan tanda-tanda yang tidak khas sering memerlukan waktu lebih usang untuk terdiagnosis. Terakhir, aspek kemudahan dan tenaga kesehatan, adalah adanya ketimpangan jumlah dan distribusi rumah sakit tumpuan kanker anak serta tenaga multidisiplin yang diharapkan.
Selanjutnya, pemahaman terkait alur penanganan kanker pada anak, dari hulu ke hilir, mulai dari onset gejala, diagnostik, tata laksana, perawatan paliatif hingga penyintas kanker haruslah berkesinambungan dan saling berkaitan, sehingga perlu perhatian di setiap aspek. Program penanganan kanker anak yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), World Health Organization (WHO), dan Kementerian Kesehatan RI harus ditindaklanjuti dengan program nyata agar tercapai target angka kesintasan >60% pada tahun 2030.
“Dalam rangka menghadapi aneka macam tantangan penanganan kanker anak di Indonesia, diperlukan taktik multidisiplin yang meliputi deteksi dini, penguatan infrastruktur layanan kesehatan, kenaikan kapasitas tenaga kesehatan, model pembiayaan inovatif, riset dan kerja sama, serta penanganan pasien secara komprehensif lewat pencatatan dan metode monitoring yang terintegrasi,” ujar Prof. Murti.
Dalam model pembiayaan inovatif, Prof. Murti menyampaikan bahwa selain memperkuat tugas BPJS sebagai sistem pembiayaan utama, rumah sakit mampu bermitra dengan organisasi nonprofit dan sektor swasta untuk mendukung pendanaan infrastruktur, teknologi, ketersediaan sumber daya manusia, dan pengembangan terapi. Pendekatan kolaboratif ini bermaksud merenggangkan beban finansial pasien, memastikan jalan masuk ke RS tumpuan dan membantu pembiayaan RS menunjukkan penanganan pasien sesuai tolok ukur. Fleksibilitas penggunaan dana juga sungguh diharapkan mengingat setiap pasien mempunyai kebutuhan berlainan meski diagnosisnya sama.
Selain itu, pencatatan dan sistem monitoring juga sungguh krusial dan ialah langkah awal yang mesti dipersiapkan. Jika dilakukan dengan baik akan menjadi big data yang sungguh berguna dan mampu dipakai untuk evaluasi, tidak cuma pasien namun juga untuk kepentingan rumah sakit. Dalam hal ini, diharapkan kesepakatan serta evaluasi terjadwal sehingga terbentuk pencatatan dan metode monitoring terintegrasi yang bagus.
“Saya optimis, dengan pengembangan tata cara kesehatan holistik yang mencakup monitoring terintegrasi semenjak diagnosis, pengobatan yang terarah dan sesuai kriteria, peningkatan kepatuhan untuk menghalangi kekambuhan, serta pinjaman menyeluruh bagi pasien dan keluarga, kita dapat mengubah wajah pelayanan kanker anak di Indonesia,” kata Prof. Murti.
Sebelum dikukuhkan menjadi guru besar UI, Prof. Murti beliau sudah menamatkan pendidikan dokter di FKUI pada 1991. Masih di kampus yang sama, pada 2002 beliau lulus Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 Ilmu Kesehatan Anak. Kemudian, di tahun 2011 dia menerima gelar Subspesialis Hematologi Onkologi Anak, dari Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Indonesia. Lalu, pada 2015 ia berhasil meraih gelar Doktor Ilmu Kedokteran di FKUI.